Sejak ribuan tahun yang lalu, Jakarta sudah sering
banjir.
Tak perlu heran.
Sebab, kota Jakarta dibangun di daerah rawa dan dataran rendah dengan
ketinggian 0 sampai 75 meter di atas laut. Saat hujan deras, 13 sungai yang ada
di Jakarta meluap kemana-mana.
Berbagai usaha
mengatasi banjir sudah dilakukan. Sejak pemerintah Hindia Belanda memindahkan
kantor VOC dari Banten ke Batavia pada tahun 1619, sungai-sungai pun mulai
dikeruk menjadi kanal-kanal seperti di negeri Belanda.
Namun, pada tahun
1621, tidak lama setelah Belanda membuat kota dagang Batavia, banjir besar
merendam seluruh kota. Banjir-banjir besar pun terulang hampir setiap 20 tahun
sekali.
Untuk mengatasi
banjir, selain mengeruk sungai dan membuat banyak kanal, pemerintah juga
membangun pintu-pintu air. Selain itu, dibangun pula bendungan dan situ untuk
menampung dan mengendalikan air di hulu-hulu sungai.
Dari 13 sungai yang
ada di Jakarta, sungai Ciliwung merupakan yang terbesar. Hulu sungai Ciliwung
berada di dataran tinggi di sekitar Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan daerah
Puncak. Sungai yang panjangnya 120 km ini melintasi Bogor, Depok, dan
Jakarta.
Pada saat musim hujan,
volume air Ciliwung sangat besar. Selain besar dan deras, air Ciliwung juga
membawa sedimentasi tanah dan sampah, sehingga daerah aliran sungai Ciliwung
yang melintasi Jakarta cepat dangkal.
Untuk mengatasi banjir
di Ciliwung agar tidak meluap ke tengah kota Jakarta, pada tahun 1920
pemerintah Hindia Belanda membuat kanal banjir dengan pintu air di daerah
Manggarai.
Air Ciliwung yang
tadinya mengalir melalui daerah Cikini, Gondangdia, lalu ke daerah Gambir,
langsung digelontorkan ke kanal banjir barat melalui Pasar Rumput, Karet,
Tanah Abang, Tomang, Jembatan Lima, Pluit, lalu ke laut.
Belanda sudah
merencanakan membuat dua kanal untuk memecah aliran sungai Ciliwung ini.
Sayangnya, kanal banjir timur belum sempat dibuat oleh Belanda. Baru pada tahun
2003, Indonesia membuat kanal banjir timur untuk mengurangi banjir di
Jakarta.
Akan tetapi, setiap
musim hujan, Jakarta masih saja banjir.
Penyebabnya, karena
sungai-sungai dan kanal-kanal yang ada di Jakarta semua dangkal dan banyak
sampah, sehingga air meluap ke pemukiman.
Selain itu,
pembangunan jalan, gedung, dan perumahan yang tidak menyediakan sumur resapan,
membuat air yang tercurah dari atap gedung dan permukaan jalan langsung
terbuang ke selokan. Padahal, selokan dan gorong-gorong di Jakarta banyak yang
tidak berfungsi dengan baik karena pembangunannya asal-asalan.
Lalu, bagaimana
mengatasi banjir di Jakarta?
Menurut Nesi, setiap
rumah/bangunan wajib memiliki sumur resapan. Banyaknya sumur resapan tergantung
dari luas tanah yang dimiliki. Sumur resapan berguna untuk menampung air hujan,
sekaligus untuk mengisi air tanah.
Setiap orang yang
tinggal di Jakarta, wajib membuang sampah pada tempatnya, agar sampah tidak
berceceran sehingga menyumbat selokan atau masuk ke sungai.
Sepanjang bantaran
sungai dan kanal harus bebas dari pemukiman untuk menghindari kebiasaan
membuang sampah di sungai dan kanal.
Sungai dan kanal
dikeruk secara rutin agar sungai dan kanal mampu menampung air
sebanyak-banyaknya.
Selokan selalu
dibersihkan dan selalu diperiksa untuk memastikan air bisa mengalir dengan
lancar. Air dari selokan dialirkan ke kolam penampungan buatan agar air bisa
meresap ke dalam tanah.
Selain itu, bendungan,
dam, dan pintu air diperbanyak untuk mengendalikan banjir.
Bagaimana, apakah kamu
ingin menambahkan? Apa idemu untuk mengatasi banjir di Jakarta?
sumber : http://www.kidnesia.com/Kidnesia/Potret-Negeriku/Teropong-Daerah/DKI-Jakarta/Tempat-Menarik/Kenapa-Jakarta-Selalu-Banjir
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar